Dalam rangka mewujudkan peradilan yang agung (Court of Excellence), Mahkamah Agung senantiasa meningkatkan kualitas melalui pembaharuan kebijakan pada badan peradilan. Sebagaimana tercantum dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia 2010-2035 terdapat pendekatan kerangka pengadilan yang unggul (The Framework of Courts Excellence) yang terdiri dari 7 (tujuh) area “Peradilan yang Agung” dan terbagi ke dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu, Pengarah/pengendali(driver), Sistem dan penggerak (system and enabler), Hasil (result).
Dalam implementasinya, Mahkamah Agung telah meluncurkan berbagai program strategis seperti pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Namun, upaya-upaya ini tetap menghadapi tantangan signifikan, terutama risiko penyuapan dan bentuk korupsi lainnya di lingkungan peradilan. Kasus-kasus penyuapan yang melibatkan oknum hakim atau aparatur peradilan telah menjadi sorotan publik dan menggerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.
Kondisi ini tercermin dalam hasil Indeks Negara Hukum tahun 2023 oleh World Justice Project, di mana Indonesia berada pada peringkat ke-66 dari 142 negara secara global, tertinggal jauh di belakang Singapura yang berada di posisi ke-17. Penilaian dilakukan berdasarkan delapan faktor dan 44 sub-faktor, dengan tiga di antaranya menunjukkan nilai yang rendah bagi Indonesia, yaitu peradilan perdata, tidak adanya korupsi, serta ketertiban dan keamanan. Indikator ini menjadi sinyal perlunya perbaikan serius, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Penyuapan merupakan jenis tindak pidana korupsi yang paling menonjol di Indonesia. Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2023, penyuapan tercatat sebagai bentuk korupsi yang paling banyak ditangani. Hingga tahun tersebut, tercatat sebanyak 31 orang hakim telah dipidana karena terlibat dalam kasus penyuapan, yang mempertegas urgensi penanganan korupsi secara sistemik di lingkungan pengadilan.
Menanggapi permasalahan tersebut, Mahkamah Agung mengembangkan dan menerapkan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) sebagai bagian dari strategi pencegahan dan penanganan penyuapan secara menyeluruh. SMAP merupakan pendekatan sistematis yang dirancang untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menindaklanjuti risiko penyuapan. Penerapannya sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pelatihan ini, peserta diberikan pemahaman tentang definisi SMAP dan berbagai bentuk penyuapan, pentingnya penerapan SMAP di lingkungan pengadilan, kerangka kerja SMAP, serta syarat-syarat penerapannya secara praktis. Materi ini bertujuan agar peserta tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip anti-penyuapan dalam pelaksanaan tugas di lingkungan lembaga peradilan.
Sebagai landasan hukum, pelaksanaan SMAP mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang tentang Tindak Pidana Suap dan Korupsi, serta berbagai regulasi pendukung lainnya termasuk PERMA dan Peraturan Pemerintah yang mengatur peran serta masyarakat, tata cara penanganan perkara oleh korporasi, hingga perlindungan terhadap saksi dan korban.
Dengan demikian, latar belakang dari penerapan SMAP adalah kebutuhan mendesak untuk memperbaiki integritas dan kepercayaan publik terhadap pengadilan melalui pendekatan manajerial dan legal yang sistematis dalam pencegahan dan penindakan praktik penyuapan. SMAP hadir sebagai instrumen penting yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komitmen Mahkamah Agung untuk membangun sistem peradilan yang bersih, transparan, dan akuntabel.