Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi dikategorikan menjadi 7 jenis yaitu kerugian keuangan negara,penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi.
Identifikasi risiko penyuapan menjadi langkah awal yang krusial untuk mencegah terjadinya praktik suap dalam aktivitas pengadilan. Proses identifikasi ini memungkinkan pengadilan untuk mengenali titik-titik rawan suap dalam sistem dan prosedur kerja mereka, serta menyusun strategi mitigasi yang tepat. Tujuannya adalah agar seluruh jajaran di lembaga peradilan mampu mengenali, menilai, dan mengendalikan risiko penyuapan secara sistematis dan terdokumentasi.
Pengadilan memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga asas dan tujuan peradilan, seperti menjamin keadilan dan kepastian hukum. Namun, dalam pelaksanaannya, hambatan seperti intervensi tidak sah, tekanan dari luar, dan peluang terjadinya suap sering kali muncul dalam berbagai proses bisnis utama pengadilan. Upaya suap ini bisa muncul dalam bentuk pemberian hadiah, uang, jasa, atau fasilitas lainnya kepada aparatur peradilan untuk mempengaruhi keputusan atau proses hukum.
Undang-undang yang mengatur larangan penyuapan telah ada sejak tahun 1980 melalui UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dan diperkuat lagi dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini menjelaskan bahwa baik pemberi maupun penerima suap dapat dikenai sanksi pidana, yang menunjukkan bahwa penyuapan adalah kejahatan dua pihak yang melibatkan kesepakatan antara pemberi dan penerima untuk keuntungan tertentu.
Salah satu cara efektif untuk menghindari terjadinya penyuapan adalah dengan melakukan identifikasi risiko penyuapan secara menyeluruh. Pengadilan perlu memahami bahwa risiko adalah dampak ketidakpastian terhadap pencapaian tujuan, dan identifikasi risiko merupakan proses awal untuk mengenali potensi sumber risiko tersebut. Dalam konteks SMAP, identifikasi risiko penyuapan dilakukan dengan mengacu pada Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 475/SEK/SK/VII/2019 tentang Pedoman Manajemen Risiko di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Identifikasi yang efektif harus dimulai dengan pemahaman yang benar mengenai definisi suap dan perbedaannya dengan bentuk korupsi lain seperti gratifikasi dan pemerasan. Suap melibatkan kesepakatan (meeting of mind) antara pemberi dan penerima untuk mempengaruhi kewenangan tertentu, bisa terjadi di dalam atau luar negeri, dan bentuk pemberiannya tidak terbatas pada uang saja, melainkan bisa berupa barang, jasa, atau keuntungan lainnya.
Infografis dan studi kasus dalam materi menunjukkan bahwa risiko penyuapan bisa terjadi pada berbagai titik seperti meja pelayanan, interaksi advokat dengan petugas, hingga proses pemeriksaan perkara. Memahami ciri-ciri ini membantu aparatur pengadilan dalam mengenali situasi berisiko, sehingga dapat diantisipasi atau ditangani sesuai prosedur.
Materi ini juga menekankan pentingnya dasar hukum dalam pemetaan risiko, yakni mengacu pada UU Tindak Pidana Korupsi dan regulasi internal Mahkamah Agung. Pemahaman menyeluruh terhadap ketentuan ini menjadi landasan dalam menyusun program antisuap dan menjaga integritas sistem peradilan.
Dengan kata lain, identifikasi risiko penyuapan bukan hanya sekadar kewajiban administratif, melainkan bagian dari komitmen mendalam untuk membangun pengadilan yang bersih, adil, dan dipercaya masyarakat. Proses ini harus dilakukan secara berkala, partisipatif, dan disertai pelatihan berkelanjutan kepada seluruh unsur organisasi peradilan.